Zakat, bagi saya, adalah salah satu konsep yang paling mengesankan dalam Islam. Bukan hanya karena ini adalah salah satu dari lima rukun Islam, tetapi karena setiap kali saya memahami lebih dalam tentang zakat, saya merasa ada keindahan tersendiri yang sering tidak banyak dibicarakan. Sejujurnya, saat pertama kali belajar tentang zakat, saya mengira itu hanyalah bentuk lain dari sedekah, sebuah "amal" yang sifatnya pilihan. Tapi ternyata, zakat memiliki dimensi hukum yang lebih mendalam, dan pelajaran itu mengubah cara saya memandang keuangan dan tanggung jawab sosial.
Mari saya jelaskan sedikit apa yang saya pelajari. Hukum zakat adalah fardhu, yang artinya wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum seseorang wajib mengeluarkan zakat, dan di sinilah saya dulu sering kebingungan. Misalnya, saya berpikir jika seseorang punya harta, langsung wajib zakat. Ternyata, ada batasan yang disebut nisab—ini adalah jumlah minimum harta yang harus dimiliki selama satu tahun penuh (haul) sebelum zakat menjadi wajib. Pada tahun-tahun awal saya bekerja, saya tidak memenuhi nisab itu, dan saya tidak sadar bahwa saya sebenarnya tidak wajib zakat pada waktu itu.
Namun, ada hal penting yang saya pelajari, yaitu konsep zakat yang lebih besar dari sekedar matematika dan persentase. Ini bukan hanya soal 2,5% dari tabungan yang dikeluarkan setiap tahun, atau soal memberikan sejumlah uang kepada mereka yang membutuhkan. Zakat itu berfungsi sebagai penyucian, bukan hanya penyucian harta, tetapi juga penyucian hati. Saya benar-benar merasakan ini ketika akhirnya saya mulai rutin berzakat. Ada perasaan lega, seperti melepaskan beban atau memberi ruang untuk sesuatu yang lebih besar dalam hidup saya.
Salah satu hal yang juga menarik, dan sering saya bagikan kepada teman-teman, adalah bahwa zakat itu sebenarnya bentuk hak. Harta yang kita miliki, sebagian kecilnya adalah hak bagi orang lain—terutama delapan golongan yang berhak menerima zakat, yang sering disebutkan dalam Al-Quran. Ketika saya pertama kali mendalami ini, saya langsung berpikir: “Wow, jadi harta yang saya keluarkan bukan benar-benar ‘pemberian’ dari saya? Itu memang hak orang lain dari awal!” Ini cukup membuka mata saya bahwa kita hanya menjadi perantara yang dititipi harta oleh Allah.
Tentu saja, bicara tentang zakat tak bisa lepas dari tantangan yang sering dihadapi oleh banyak orang. Satu hal yang membuat saya dulu ragu untuk mulai berzakat adalah ketidaktahuan bagaimana menyalurkan zakat dengan benar. Apakah harus langsung ke fakir miskin? Atau bisakah disalurkan melalui lembaga zakat? Setelah banyak belajar dan tanya-tanya ke beberapa ustaz, saya akhirnya memilih untuk menyalurkannya melalui lembaga zakat terpercaya. Saya merasa lebih nyaman karena lembaga ini biasanya lebih tahu siapa yang benar-benar membutuhkan dan bagaimana cara yang paling efektif untuk mendistribusikan zakat.
Sebagai tambahan, satu pelajaran penting yang sering saya pikirkan terkait zakat adalah bagaimana zakat itu sebenarnya bisa menjadi solusi untuk masalah sosial yang lebih besar. Dalam skala besar, jika semua Muslim yang mampu melaksanakan zakat dengan benar, bisa jadi tidak akan ada lagi ketimpangan ekonomi yang begitu mencolok. Saya ingat seorang ustaz pernah berkata bahwa zakat itu ibarat "sistem redistribusi kekayaan" yang Allah tetapkan agar tidak ada harta yang hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja.
Jadi, bagi saya, hukum zakat dalam Islam lebih dari sekadar perintah untuk berbagi harta. Ini adalah bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual. Dan, saya yakin, semakin banyak kita belajar tentang zakat, semakin kita akan menyadari bahwa zakat bukanlah beban, tetapi sebuah kehormatan dan kesempatan untuk membuat perbedaan—baik di dunia ini, maupun di akhirat.